04 Agu
EKSEKUSI KEBIJAKAN IMPOR Data BPS Bakal Jadi Acuan Tunggal
JAKARTA — Mulai tahun depan, Kementerian Perdagangan hanya akan menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai landasan pengambilan kebijakan dan penerbitan perizinan impor.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan langkah ini beriringan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mengacu pada penggunaan satu data dalammengeksekusi kebijakan impor. Menurut rencana, dalam waktu dekat Menteri Perdagangan akan segera bertemu dengan BPS terkait dengan implementasi rencana tersebut. Targetnya, penggunaan data BPS sebagai acuan pengambilan kebijakan dan penerbitan perizinan bisa segera dilakukan pada tahun depan.
“Harusnya ya tahun depan, termasuk untuk alokasi impor juga sudah bisa pakai data BPS,” ujar Enggar kepada Bisnis, Selasa (2/8).
Masalah klasik soal perbedaan data di berbagai instansi, sebut Enggar, telah berlangsung sejak dulu. Setiap kementerian, sambung nya, memiliki data acuan tersendiri yang kebenarannya pun patut dipertanyakan. Akibatnya, banyak yang mengeluhkan kebijakan menjadi tak tepat sasaran karena penggunaan data tak seirama.
Enggar mengungkapkan pendataan stok bahan pangan akan menjadi prioritas utama, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk menciptakan stabilisasi harga pangan.
“Datanya yang bagus itu yang dilakukan BPS. Saya juga akan bertemu Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian .” Direktur Penelitian Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan pemantauan harga bahan pangan di Tanah Air selama ini dilakukan tiga entitas, yaitu Kementerian Perdagangan, Bank Indonesia (BI), dan BPS. Dari tiga instansi tersebut, lanjut Faisal, terdapat selisih cukup jauh, salah satu contohnya data BPS dan Kementerian Perdagangan soal harga bahan pokok.
Faisal menilai, langkah menteri perdagangan baru untuk mengacu pada BPS sudah tepat. Pasalnya, entitas statistik itu memiliki spesialisasi dan perangkat yang memadai soal pengumpulan data. Kementerian umumnya hanya memiliki perwakilan berupa dinas di daerah. Armada kementerianpun memiliki banyak tugas dan tak hanya berfokus pada pengumpulan serta pengolahan data.
“Akan tetapi, ini juga berarti BPS perlu meningkatkan akurasinya. Masih banyak kelemahan metode dan teknik pengumpulan data di BPS,” tutur Faisal.
BERBENAH DIRI
Peningkatan akurasi data itu, ditegaskan Faisal, menjadi kewajiban utama BPS ke depannya. Pasalnya, jika benar BPS menjadi satu-satunya acuan, tak ada entitas lain sebagai pembanding. Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Departemen Ekonomi, Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri.
Menurut dia, data BPS sudah seharusnya menjadi acuan bagi seluruh instansi kementerian di Indonesia. Dengan demikian, masing-masing kementerian tak lagi melakukan pengumpulan data secara individual. Namun, Yose mengingatkan BPS perlu berbenah diri dalam pengumpulan datanya. Selain itu, jika keputusan ini disepakati, setiap kementerian pun wajib berkomitmen mengalokasikan dana pengumpulan data ke BPS.
Nantinya, dalam masa transisi penertiban penggunaan data, Yose menyarankan Kementerian Perdagangan untuk selalu menggelar konsultasi. “Harus lebih hati-hati dalam membuat kebijakan. Perlu diadakan lebih banyak konsultasi, sebelum data yang lebih baik dihasilkan,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno pun mendukung langkah Kementerian Perdagangan yang berniat hanya mengacu pada data BPS dalam setiap pengambilan keputusan impor. “Kalaupun salah, nanti dibetulkan saja datanya. Kalau datanya multi resources, itu malah mem bingungkan dan menyebabkan lahirnya ego sektoral,” terang Benny
Editor : Mia Chitra Dinisari